Kau hadir bagai senja,
yang datang sesaat, hanya memberi kabar bahwa malam akan tiba,
namun bias mu masih tersimpan, dalam.
Apakah aku bisa memiliku mu, senja? yang datang dan pergi sesuka hati,
engkau bebas, dan kau yang menyatukan siang dan malam ku,
dengan senyum merona sejingga senja.
Dimana kau bersembunyi saat malam tiba, senja?
dibalik malamkah atau memutari dunia ?
Izinkan aku menjadi duniamu, agar kau selalu hadir dalam dekap hangat mentari.
Kau datang hanya untuk menyatakan bahwa aku harus pulang,
beristirahat setelah penat, kemudian lenyap.
Aku ingin kau ada di sisi saat ku membuka mata,
saat mentari menyambut pagi”.
***
“Senja begitu indah ya?” kata ku pada seorang wanita yang menatap lekat ke arah matahari yang sedang mencoba untuk tenggelam, bukan sebuah pertanyaan, namun lebih pada sebuah peryataan.
Sedetik, lima detik, lima belas menit, tiada jawaban. Dia masih saja menatap matahari yang telah sepenuhnya tenggelam berganti malam, dan aku masih saja berdiri disampingnya, meminum habis jus alpukat yang kupesan sebelumnya.
“Haus ya?” suara itu menghentikanku berkutat pada gelas plastik sisa jus, wajah itu menatapku.
“Mungkin, karena lelah menunggu” jawab ku, serasa aliran darah berhenti dan tertahan diwajahku, panas, mungkin membara.
“menunggu siapa?”
“menunggu ruh pulang kembali ke jasad kaku disampingku, yang tak hentinya menatap senja”
Dia diam, seperti ada awan hitam dimatanya yang mungkin sebentar lagi awan itu menurunkan hujan.
“senja itu indah ya?” kataku sambil memalingkan wajah ke cahaya kecil ditengah laut, pada kapal yang sedang berlayar.
“dan menyimpan banyak kenangan” jawabnya
“namaku Andhika”
“namaku Senja”
“nama yang unik, nama lengkapnya siapa?”
“Anjani Senja Rahmadhani”
“Andhika Kameswara Muda”
Sebuah perkenalan yang singkat, dari senja yang merona, tanpa jabat tangan.
***
Kemudian aku dan senja-yang lebih nyaman dipanggil Anjani- lebih sering bertatap muka, kadang aku mengajaknya sekedar menyapa senja ditempat pertama bertemu atau dia yang mengajak untuk menonton film terbaru di Bioskop. Namun kami lebih sering menyapa lewat telpon atau berkirim pesan singkat sekedar bertanya sudah makan atau belum.Kedekatan kami melewati hitungan hari, minggu, bulan, dan tahun, bahkan melewati berbagai musim, dari musim durian, musim rambutan, musim haji, hingga musim kawin. Bagiku, ingin segera turut serta pada musim yang terakhir kusebut.
“kenapa kamu suka senja?” tanyaku pada suatu sore disebuah kafe pinggir laut.
“menurut kamu, kebebasan itu apa?"
“……”
“apakah kita bisa memilih untuk hidup bebas? padahal kita terikat pada aturan dan norma-norma”
“hidup itu pilihan”
“jika hidup itu pilihan, lalu bagaimana dengan takdir? jika jalan hidup itu telah ditentukan, apakah ada pilihan yang lain?”
Aku terdiam, karena aku rasa pertanyaan itu bukan ditujukan untuk ku, tapi untuk yang lain.
Senja mulai menampakkan wajah ayunya di ufuk barat, merona dengan tambahan pelangi, mungkin sedang hujan di seberang sana, senja semakin terlihat indah, seperti lukisan abadi di kanvas lukis Tuhan. Ya, Tuhan, kepada Dia lah pertanyaan itu diajukan.
***
Pekerjaan semakin padat, menguras tenaga dan pikiran, ditambah lagi teman kerja yang tidak membantu sama sekali, sibuk mengejar pendapatannya sendiri dari usaha sampingannya, lalu lupa tugas utamanya. Sudah waktunya mencari tantangan yang lain dengan pendapatan yang lebih baik, yang lebih menghargai setiap tetes keringat dan pikiran yang terpakai dan terbuang, waktunya mengajukan pengunduran diri.
Berdasarkan informasi dari seorang kawan, berangkatlah aku untuk interview pekerjaan diluar kota, dan setelah hampir sebulan menganggur, akhirnya jawaban hasil interview kemarin melalui e-mail ku yang menyatakan bahwa saya diterima untuk ditempatkan diperusahaan di luar negeri, dan mereka meminta untuk menyiapkan segala data yang dibutuhkan dibantu oleh perusahaan tersebut.
Lebih dari tiga minggu segala urusan pemberangkatan berjalan dengan baik, tiket pesawat sudah ditangan, dan tiga hari kedepan aku sudah harus meninggalkan kota dan Negara ini tercinta ini.
Fajar baru saja menyingsing, menyisihkan kabut dan embun pagi didedaunan taman, udara segar merasuk sampai keparu, yang tergantikan dengan karbondioksida sempurna melalui pernafasan.
Aku berlari kecil dipinggir jalan di kampung tempat aku dilahirkan, begitu tenang, hanya sesekali kendaraan berlalu lalang pelan, sisanya Ibu-ibu yang berjalan menuju pasar. Hari masih pagi, namun aku sudah merindukan senja. Ku rogoh kantung celana untung mengambil handphone dan mencari sebuah nama, Anjani Senja Rahmadhani.
“Assalamu’alaikum” suara wanita melalui speaker telpon
“wa ‘alaikum salam”
“pasti kamu sedang rindu sama aku ya, Dhika? soalnya pagi-pagi gini sudah nelpon”
“hehe..,mmm…sore ini ada waktu? ditempat biasa, aku jemput?”
“oke, tapi gak usah di jemput, soalnya aku ada urusan sebentar, tunggu aja disana, aku agak telat ya?!”
“no problem”
“see ya”
Senja telah usai, hanya tersisa suara ombak dan angin yang menderu mendera pantai dan karang, namun Senja yang ku tunggu belum juga datang. Ini gelas yang ketiga dari jus alpukat yang kupesan dari café ini.
Sebuah pesan singkat masuk ke hp ku, tertulis dari Anjani Senja Rahmadhani, senja yang ku tunggu.
Dhika maaf, aku gak bisa datang, ada urusan keluarga yg sangat mendadak, maaf bgt ya ?.
Ku hela nafas panjang dan menjawab pesan singkat tersebut,
iya gak pa2, aq Cuma mau pamitan, bsok aq brngkat ke luar negri, dpt kerja yg lain,mungkn utk bbrp tahun, bye Senja.
Tak ada jawaban kembali, dan aku pun meluncur pulang.
***
Dua tahun berlalu, sejak aku meninggalkan Indonesia tercinta dan juga Senja. Masa kerja sudah terpenuhi, modal sudah terkumpul, sudah waktunya mandiri, membuka usaha sendiri, tidak besar, namun cukup untuk aku dan keluarga ku, saatnya untuk berumah tangga.
Udara di Indonesia sangat berbeda, menenangkan, menyegarkan. Setelah beristirahat penuh kemaren, hari ini aku ingin segera menemui Senja. Setelah pesan singkat terakhir dua tahun yang lalu, tidak ada kabar lagi darinya, nomor telpon nya pun tidak bisa dihubungi. Dimana kau Senja ?
"Dua tahun yang lalu Anjani sudah menikah, nak Andhika. Sekarang sudah punya anak satu, laki-laki, dia tinggal sama suaminya, agak jauh dari sini” Ibu senja menjelaskan keberadaan anaknya saat aku bertandang kerumahnya dan menanyakan tentang Senja.
“Nak Dika kemana aja, kok gak pernah keliatan, sudah lama lho gak mampir kemari” Ibu Senja melanjutkan tanya
“maaf bu, saya gak memberi kabar sebelumnya, tapi saya sudah kasih tau ke Anjani kalau saya akan berangkat ke luar negeri buat kerja,lewat sms sih bu, mungkin dia lupa kasih tau ke ibu”
“kalo gak salah waktu itu Anjani pernah bilang, hp dia hilang waktu jemput keluarga jauh yang datang dari luar kota buat ngelamar dia”
“baiklah bu, saya pamit dulu, salam aja sama Anjani” aku mengakhiri kunjungan sore itu, sepertinya hari mau hujan, karena kulihat mendung dan berkabut, mungkin mata ku kemasukan debu.
***
“senja begitu indah ya?” kata seorang wanita yang berdiri disamping ku, membangunkanku dari lamunan tentang Senja, tentang merona ku yang semakin jingga saat pertemuan pertama.
“indah dan menyimpan banyak cerita” jawabku pelan
“memandangnya seakan bebas, seperti burung yang terbang pulang menuju sarang”
"apakah kita bisa memilih untuk hidup bebas?”
“hidup itu pilihan”
“jika hidup itu pilihan, lalu bagaimana dengan takdir? jika hidup itu telah ditentukan apakah ada pilihan yang lain?”
"..."
“namaku Maya”
“aku Andhika”Perkenalan yang singkat tanpa jabat tangan.
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar